Aku adalah saksi yang melihat para dewa meluru turun dari tiap-tiap tempat tinggi. Mereka berendam dalam parit dan menyalak bukit dengan harapan dapat kembali ke tempat tinggi.
Suatu masa dulu dewa-dewa ini sering membacakan mentera-mentera sakti yang meramal masa depan tentang akan turunnya mereka secara beramai-ramai ke lembah untuk melihat manusia yang kecil miskin lagi hina yang hidup melata-lata. Lalu mereka genggam tangan mereka dan julang ke udara. Mereka menjerit bagaikan halilintar dengan harapan dapat kembali ke tempat tinggi.
Manakala di bumi, melata pula wali-wali yang menegakkan hukum. Merekalah hukum yang mencegah hukum-hukum lain selain hukum mereka. Dari 73 firqah, mereka sajalah yang sampai. Yang lain semua sesat. Maka dengan itu wali-wali ini bergembira dengan takdir mereka.
Lalu mereka lali dengan keindahan “adab” hingga lupa keutamaan “jalan”, “sujud” dan “duduk”.
Ada kalanya aku bersuara. Tentang keutamaan jalan, sujud dan duduk agar seiring dgn adab. Maka wali-wali itu menghukum aku masuk neraka. Padan muka.
Kini para wali mengesot seiringan dengan para dewa. Mereka agihkan duka lara dan sakit luka sama rata. Mereka begitu bersungguh mencipta mimpi tentang dewa dalam parit yang kembali ke tempat tinggi. Mereka begitu lama didodoi mimpi tentang para wali yang mencapai syurga. Semua keindahan itu diadun dalam parit.
Maka, kebayan pun kembali ke singgah sana bersama-sama kera kaduk bermata sepet dan hitam legam. Lalu kebayan pun bercerita tentang ramuan merawat luka dihiris dusta. Agar warga kecil cepat redha, pasrah dan sedia memberi maaf. Serta sudi pula menyusui kera kaduk dan membiarkan anak-anak sendiri kelaparan.
Jauh dalam hutan, di bawah batu tersembunyi pula para cerdik pandai yang bertutur dengan jari-jemari. Cerdik pandai ini menulis rumi dari kanan ke kiri. Mereka menampal 37 pelekat di atas kekunci. Cerdik pandai ini pun memanjat ke atas batu dan mengupas segala misteri alam nasut lalu menuding jari dan membaca sumpahan kelembai menukar segala benda menjadi batu untuk mereka bertenggek di atasnya. Bila di tanya siapakah mereka, mereka pun menjawab, “kami lah cerdik pandai yang bekerja mengubah segala benda menjadi batu dan kertas “. Cerdik pandai ini memang banyak menyimpan kertas-kertas bergulung yang ada lilin merah tumpah di atasnya yang ditekan mohor sebelum kering. Kertas-kertas itu ditanda pula dengan contengan dakwat oleh waris-waris keturunan Masaleikh dan So’od.
Leave a Reply